Pakar: Pemidanaan RKUHAP Perlu Selaras dengan KUHP Baru
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) saat ini tengah menjadi sorotan dalam dunia hukum Indonesia. Sebab, penyusunan dan pembahasannya harus mempertimbangkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah direvisi dan diundangkan sebagai KUHP Baru. Para pakar hukum menegaskan bahwa pemidanaan yang diatur dalam RKUHAP harus selaras dengan prinsip, norma, serta jenis pemidanaan yang telah diatur dalam KUHP Baru agar tercipta kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Urgensi Sinkronisasi RKUHAP dengan KUHP Baru
Sinkronisasi antara RKUHAP dan KUHP Baru menjadi isu mendesak dalam reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia. KUHP Baru, yang telah disahkan, membawa berbagai perubahan mendasar terhadap jenis, bentuk, dan sistem pemidanaan. Ketentuan-ketentuan baru tersebut harus dicerminkan secara konsisten dalam RKUHAP agar proses penegakan hukum berjalan efektif dan adil.
Perubahan dalam KUHP Baru, seperti pengaturan pidana pokok dan pidana tambahan, memperkenalkan jenis pidana baru, pengurangan sanksi, serta pendekatan keadilan restoratif, menuntut adanya penyesuaian dalam tata cara penuntutan dan pelaksanaan hukuman. Jika RKUHAP tidak segera diselaraskan, akan timbul ketidakpastian hukum yang dapat merugikan baik aparat penegak hukum maupun masyarakat.
Selain itu, sinkronisasi dibutuhkan untuk menjawab tantangan implementasi hukum pidana Indonesia yang lebih modern dan humanis. KUHP Baru menekankan pentingnya hak-hak terdakwa, prinsip proporsionalitas, dan tujuan pemasyarakatan dalam pemidanaan. Tanpa penyesuaian di RKUHAP, substansi kemajuan tersebut dikhawatirkan tidak dapat terimplementasi dengan baik saat proses peradilan.
Urgensi sinkronisasi ini juga berkaitan dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana. RKUHAP sebagai hukum acara, dan KUHP sebagai hukum materiil, harus berjalan beriringan sehingga tidak terjadi benturan norma atau pengaturan yang saling tumpang tindih. Koherensi kedua instrumen tersebut merupakan syarat mutlak agar sistem peradilan pidana berjalan optimal.
Lebih jauh, penyesuaian ini akan mencegah persoalan yuridis seperti multitafsir dan inkonsistensi dalam penerapan sanksi pidana. Ketidakselarasan antara hukum materiil dan hukum acara juga berpotensi menjadi celah bagi pelaku kejahatan untuk menghindari pertanggungjawaban hukum.
Akhirnya, sinkronisasi RKUHAP dan KUHP Baru menjadi fondasi penting dalam mewujudkan sistem hukum pidana nasional yang modern, adil, dan berbasis perlindungan hak asasi manusia. Oleh karenanya, pembaruan RKUHAP tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus menyelaraskan seluruh aspeknya dengan KUHP Baru.
Tantangan Penyesuaian Pemidanaan dalam RKUHAP
Meskipun urgensi sinkronisasi sudah diakui, namun proses penyesuaian pemidanaan dalam RKUHAP menghadapi beragam tantangan. Salah satu tantangan utama adalah perbedaan filosofi dan pendekatan antara KUHP lama, KUHP Baru, dan RKUHAP yang sedang disusun. Hal ini menyebabkan perlunya penyesuaian yang tidak sekadar formalistik, tetapi juga substansial.
Tantangan lain muncul dari kebutuhan untuk mengakomodasi bentuk-bentuk pidana baru yang diperkenalkan KUHP Baru, seperti pidana kerja sosial, pidana pengawasan, serta mekanisme keadilan restoratif. Instrumen hukum acara harus dapat memfasilitasi pelaksanaan pidana-pidana tersebut dengan prosedur yang jelas dan aplikatif.
Selain itu, perombakan sistem pidana juga berimplikasi pada penyesuaian administrasi peradilan, pelatihan aparat penegak hukum, serta penyediaan sarana-prasarana pendukung. Tanpa kesiapan institusi dan aparat, pembaruan sistem pemidanaan berpotensi tidak efektif atau bahkan menimbulkan konflik norma di lapangan.
Kompleksitas dalam pengharmonisasian pasal-pasal antara RKUHAP dan KUHP Baru juga menjadi kendala tersendiri. Proses harmonisasi memerlukan kajian mendalam agar setiap pasal terkait penjatuhan pidana, eksekusi, serta hak-hak terdakwa, benar-benar sejalan dengan semangat KUHP Baru.
Tantangan yuridis dan teknis pun tidak dapat dihindari, terutama dalam mengatur prosedur pelaksanaan pidana alternatif dan mekanisme restorative justice yang relatif baru dalam sistem hukum Indonesia. Penyesuaian ini menuntut pemahaman mendalam serta keterlibatan berbagai pemangku kepentingan.
Pada akhirnya, tantangan utama terletak pada bagaimana RKUHAP dapat benar-benar menjadi alat yang efektif dalam mengimplementasikan semangat pembaruan hukum pidana tanpa menimbulkan masalah baru dalam praktik. Untuk itu, diperlukan formulasi yang cermat, partisipatif, dan berbasis kebutuhan riil masyarakat dan penegak hukum.
Pandangan Pakar terhadap Harmonisasi Hukum Pidana
Para pakar hukum pidana berpendapat bahwa harmonisasi antara RKUHAP dan KUHP Baru adalah keniscayaan. Mereka menilai, tanpa harmonisasi yang baik, pembaruan hukum pidana materiil tidak akan mampu memberikan dampak signifikan terhadap reforma sistem peradilan pidana secara menyeluruh. Harmonisasi harus dilakukan secara integratif, bukan tambal sulam.
Menurut sejumlah akademisi, salah satu aspek penting yang harus diperhatikan adalah penerapan prinsip keadilan substantif dalam setiap tahapan proses pidana. RKUHAP harus mampu menjamin bahwa setiap hak yang dijamin dalam KUHP Baru, termasuk hak korban dan terdakwa, dapat diakses secara efektif melalui prosedur hukum acara.
Pakar juga menyoroti perlunya pembaruan mekanisme penjatuhan pidana agar lebih transparan dan akuntabel. Penegakan hukum tidak cukup hanya mengandalkan aturan tertulis, tetapi juga harus didukung oleh tata cara yang jelas, proporsional, dan responsif terhadap perkembangan masyarakat.
Dalam forum-forum ilmiah, sejumlah pakar menyarankan agar harmonisasi dilakukan melalui pendekatan interdisipliner, dengan melibatkan masukan dari akademisi, praktisi, dan masyarakat sipil. Proses penyusunan RKUHAP harus terbuka terhadap kritik dan masukan demi menghasilkan produk hukum yang berkualitas.
Sebagian pakar juga menekankan bahwa harmonisasi bukan berarti mengadopsi seluruh ketentuan KUHP Baru ke dalam RKUHAP secara literal. Namun, yang lebih penting adalah mengadopsi spirit, nilai, dan prinsip utama yang terkandung dalam KUHP Baru agar tercipta keseimbangan antara perlindungan kepentingan korban, pelaku, dan masyarakat.
Pada akhirnya, para pakar sepakat bahwa harmonisasi adalah jembatan menuju sistem peradilan pidana yang lebih adil, modern, dan humanis. Mereka berharap agar pemerintah dan legislatif mampu menampung berbagai aspirasi serta melakukan pembaruan hukum acara secara komprehensif dan terencana.
Rekomendasi untuk Penyusunan RKUHAP yang Efektif
Agar RKUHAP dapat menjadi instrumen hukum acara pidana yang efektif dan selaras dengan KUHP Baru, sejumlah rekomendasi disampaikan oleh para pakar hukum. Pertama, pembaruan RKUHAP harus berangkat dari evaluasi menyeluruh terhadap perubahan substansi pidana yang telah diatur dalam KUHP Baru, sehingga seluruh prosedur acara dapat mengakomodasi ketentuan baru tersebut.
Kedua, diperlukan pelibatan aktif seluruh pemangku kepentingan, mulai dari akademisi, praktisi hukum, aparat penegak hukum, hingga masyarakat sipil dalam proses penyusunan. Partisipasi yang luas akan meningkatkan legitimasi dan kualitas RKUHAP sebagai produk hukum yang responsif dan inklusif.
Ketiga, penyusunan RKUHAP harus memperhatikan aspek implementasi di lapangan, termasuk kesiapan institusi, sumber daya manusia, serta infrastruktur pendukung. Penyusunan naskah akademik dan pasal-pasal harus mempertimbangkan masukan dari pelaku sistem peradilan agar tidak terjadi hambatan dalam praktik.
Keempat, pengaturan prosedur pelaksanaan pemidanaan alternatif dan restorative justice harus dijabarkan secara rinci dan aplikatif. Aturan-aturan ini perlu dirumuskan dengan jelas untuk mencegah multitafsir yang dapat merugikan salah satu pihak dalam proses peradilan.
Kelima, perlindungan hak asasi manusia harus menjadi roh dalam setiap ketentuan yang diatur dalam RKUHAP. Hak-hak terdakwa, korban, serta masyarakat harus diakomodasi secara proporsional dengan mengacu pada prinsip keadilan, kemanusiaan, dan kepastian hukum.
Keenam, monitoring dan evaluasi secara berkala atas implementasi RKUHAP setelah diundangkan sangat penting guna memastikan efektivitas dan kesesuaian antara hukum acara dan hukum materiil. Evaluasi ini juga dapat menjadi pijakan untuk melakukan pembaruan lanjutan jika ditemukan kendala atau kekurangan dalam penerapan.
Penyusunan RKUHAP yang selaras dengan KUHP Baru merupakan tantangan besar sekaligus peluang untuk mewujudkan sistem peradilan pidana nasional yang modern, adil, dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia. Dengan sinkronisasi yang tepat, RKUHAP tidak hanya akan memperkuat kepastian hukum, tetapi juga meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Dibutuhkan komitmen dan kerja sama seluruh elemen bangsa agar harmonisasi kedua instrumen hukum ini benar-benar membawa kemajuan bagi hukum pidana Indonesia.
➡️ Baca Juga: Pemerintah Rilis Kebijakan Baru untuk Penanganan Covid-19
➡️ Baca Juga: Puncak Arus Balik Lebaran 2025 Diprediksi Terjadi pada 5-7 April
Rekomendasi Situs ➡️ Slot Online